Senin, 21 Desember 2009

Persib Punya Sejarah Gemilang

JIKA melihat perjalanan Persib Bandung selama mengikuti Kompetisi Sepak Bola Liga Indonesia yang dimulai sejak tahun 1994 sampai sekarang tahun 2005, boleh jadi Liga Indonesia I yang digelar tahun 1994-1995, merupakan tahun prestasi bagi Persib.

Pada LI perdana yang merupakan kompetisi gabungan dari peserta asal tim perserikatan dengan Galatama tersebut, Persib berhasil menorehkan tinta emas sebagai tim pertama yang memboyong Piala Presiden. Bermodalkan materi pemain tim juara kompetisi perserikatan tahun 1990, Persib yang dilatih Indra M. Thohir dan diperkuat para pemain lokal asal Bandung dan Jabar mampu menghempaskan tim asal Galatama Petrokimia Gresik yang saat itu telah dihuni tiga pemain asing Jacksen F. Tiago, Carlos de Mello, dan kiper Darryl Sinerine.

Pada partai final yang berlangsung 30 Juli 1995 di Stadion Utama Senayan Jakarta (kini Stadion Gelora Bung Karno), gol tunggal Sutiono membungkam perlawanan Petrokimia 1-0, untuk memastikan gelar juara. Saat itu Persib sangat produktif dalam mencetak gol. Dari 32 pertandingan selama putaran pertama dan kedua, mampu mengumpulkan 54 gol dan kemasukan hanya 15 gol.

Sebagai juara, Persib memiliki tiket untuk tampil diajang internasional mewakili Indonesia dalam Piala Champions Asia yang diikuti juara-juara liga di negara Asia. Prestasi Persib sebagai debutan ternyata tidak memalukan.

Menumbangkan juara Liga Thailand Bangkok Bank 2-0 di Bangkok dan kalah 1-2 di Bandung. Kemudian mengalahkan juara liga Filipina Pasar City 2-1 di Bandung dan 3-1 di Manila. Hasil ini membawa Persib lolos ke peremfat final.

Sayangnya meski tampil di depan dukungan ribuan bobotoh di Stadion Siliwangi, Ajat Sudrajat cs. takluk 1-3 dari juara liga Jepang Verdy Kawasaki, tumbang 2-3 dari juara bertahan Thai Farmers Bank dan takluk 1-4 dari juara liga Korea Selatan Ilhwan Chunwa. Meski gagal ke semifinal, pelatih Indra Thohir mendapat penghargaan dari AFC sebagai pelatih terbaik Asia.

Catatan sejarah sepanjang tahun 1994-1995 ini, bisa jadi bakal sulit untuk diulangi lagi. Entah kapan lagi Persib bisa menunjukkan keperkasaannya di Liga Indonesia. Hingga Liga Indonesia X, Persib tidak pernah lagi juara. Bahkan saat itu Persib sudah menggunakan para pemain asing yang berasal dari Cile, Paraguay, Uruguay dan Argentina, namun tetap saja tidak bisa menyamai prestasi Robby Darwis dkk.

Setelah juara LI I, prestasi Persib cenderung turun. Pada empat kali Liga yaitu LI V tahun 1998/1999, LI VI (1999/2000), LI VIII 2001/2002 dan LI IX (2002/2003) Persib nyaris jatuh ke jurang degradasi.

Pada LI V, Persib lolos dari degradasi setelah pada pertandingan terakhir mengalahkan tuan rumah Persita Tangerang di Stadion Benteng Tangerang. Persita yang akhirnya terjun ke jurang degragasi. Begitu juga pada LI IX, Persib harus bertanding di babak play off bersama Persela Lamongan, PSIM Yogyakarta, dan Perseden Denpasar. Untung Persib kembali lolos dari degradasi setelah mengalahkan Persela dan PSIM dengan angka 1-0, kemudian imbang 4-4 dengan Perseden. Pada LI X Persib hanya menempati posisi keenam klasemen.

Dari: pikiran rakyat

Lahir Sebagai Alat Perjuangan

WAKTU tampaknya berlalu sangat cepat hingga tidak terasa, tim kebanggaan masyarakat Bandung dan Jawa Barat, yaitu Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung, yang lebih dikenal dengan nama Persib, kini sudah memasuki usia 72 tahun pada 14 Maret 2005 lalu.

Menurut buku “Sejarah Lintasan Persib” yang dibuat oleh R. Risnandar Soendoro, lahir dan perkembangan Persib sendiri, tidak lepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Persib lahir pada 1933, di tengah rasa nasionalisme untuk memerdekakan diri dari cengkraman penjajahan Belanda. Persib menjadi salah satu akar perjuangan rakyat Bandung dan Jawa Barat ketika itu. Hingga sangatlah wajar, jika Persib menjadi bagian terpisahkan dari masyarakat Bandung dan Jawa Barat.

Sebelum bernama Persib, di Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) yang berdiri pada 1923. BIVB merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum naisonalis. BIVB biasanya melakukan pertandingan di lapangan Tegallega.

Namun, BIVB kemudian menghilang dan muncullah dua perkumpulan lain, yaitu Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetbal Bond (NVB).

Pada 14 Maret 1933, kedua perkumpulan ini sepakat bergabung dan lahirkan Persib. Saat itu pula, di Bandung juga berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori orang-orang Belanda yaitu Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Masyarakat juga lebih senang menonton pertandingan VBBO karena pertandingan biasanya digelar di dalam kota seperti UNI dan SIDOLIG.

Namun, perkumpulan yang sebelumnya berada di bawah VBBO, antara lain UNI dan SIDOLIG, kemudian bergabung dengan Persib. Bahkan, VBBO kemudian menyerahkan lapangan yang biasa mereka gunakan yaitu lapangan UNI, SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan SPARTA (Stadion Siliwangi).

Saat pendudukan Jepang, Persib berganti nama menjadi Rengo Tai Iku Kai. Rongrongan kembali datang ketika pasukan Belanda yang kembali ke Indonesia, berupaya untuk kembali menghidupkan VBBO. Namun, Persib berdiri kokoh atas prakarsa dr. Musa, Munadi, H. Alexa, dan R. Sugeng.

Persib kemudian bisa bertahan dan eksis hingga sekarang ini, bahkan menjadi salah satu kekuatan sepak bola nasional. Semoga saja, Persib tetap langgeng dan terus mencetak prestasi. Amin.


DARI :PIKIRAN RAKYAT

VIKING KUNINGAN PERSIB VS PELITA






BOBOTOH PERSIB TAUN 1960-an

Jadi ”Bobotoh” Persib Tahun 1960-an


bobotoh Persib telah ada sejak dulu. Paling tidak, saya mengalami sendiri akhir tahun 1959 hingga 1964. Ketika duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) kelas 5 hingga SMP kelas 3 di Kota Kecamatan Limbangan, Garut. Setelah melanjutkan sekolah di Garut Kota (SGA, kemudian berubah nama menjadi SPG), kegiatan menjadi bobotoh Persib terhenti. Soalnya, bekal dari orang tua paspasan sekali. Tak dapat menyisihkan buat ongkos nonton Persib bertanding di Bandung.

Kalau masih di kampung, sekadar buat membeli karcis, dapat mencari ke sana kemari. Mulai dari menjual dua tiga ikat kayu bakar, hingga menjual telur ayam atau bebek. Bahkan kadang-kadang isi sarang ayam tetangga pun ikut terkuras. Maklum, usia sedang nakal-nakalnya.

Untuk ongkos kendaraan Limbangan-Bandung, tak terlalu sulit. Pergi ke Bandung, numpang truk pengangkut minyak kelapa dari Ciamis. Setiap hari Ahad pkl.11.00 truk itu menurunkan muatan drum minyak di beberapa toko dekat pasar. Jika sudah selesai, saya dan beberapa kawan seusia, segera meloncat diam-diam. Bersembunyi di sela-sela deretan drum. Sopir dan kernek baru tahu ada “penumpang gelap” jika sudah sampai ke Bandung. Atau bahkan mereka tidak tahu sama sekali. Sebab begitu truk memperlambat lajunya dan akan berhenti di kawasan Cicadas, kami sudah melenggang di trotoar.

Dari Cicadas, jalan kaki ke lapang Sidolig atau Stadion Siliwangi. Bubar sore menjelang magrib, jalan kaki lagi ke Cicadas. Menuju rumah seorang kerabat. Ikut nginap di sana. Pulang ke Limbangan esok hari (Senin pagi), naik kereta api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau (kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga Sasakbeusi.

Tentu saja hari itu saya dan kawan-kawan sesama bobotoh bolos sekolah. Untung tidak terlalu sering. Persib main melawan tim kota lain (pertandingan persahabatan), seperti Persebaya (Surabaya), Persis (Solo) sebulan atau dua bulan sekali. Pernah pula melawan tim luar negeri. Kalau tidak salah dari Cina.

Seingat saya selama lima tahun menjadi penonton setia Persib, tak pernah ada keributan gara-gara ulah bobotoh. Jika Persib menang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada waktu pulang oleh sebagian penonton yang merasa sugema mendapat suguhan gol-gol Persib, dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran kepada setiap orang yang ditemui di jalan.

Jika kebetulan Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai gaang katincak. Kibaran-kibaran saputangan dan koran tidak terlihat di perjalanan pulang. Semua rata-rata menunduk lesu sebagai tanda kecewa berat.

Mungkin karena para penonton yang notabene bobotoh setia Persib di masa itu, benar-benar merasa memiliki dan menghargai Persib lahir batin. Mereka datang dari berbagai tempat ti nanggerang lila caang ti nanggorek lila poek semata-mata karena rasa cinta dan sayang kepada Persib. Mereka ikut menjaga prestise dan prestasi Persib sebagai kesebelasan yang ditakuti lawan, dengan menjunjung tinggi keamanan dan ketertiban di dalam dan di luar arena pertandingan. Sedikit saja bobotoh berlaku codeka, Persib ikut ternoda. Semisal melempar benda-benda kepada pemain lawan, atau menyoraki secara keterlaluan. Jika ada bobotoh yang berbuat begitu, pasti rekan-rekan di dekatnya segera memperingatkan.

Para bobotoh era 1950-an dan 1960-an, tahu sekali, jika mereka berbuat neko-neko, justru akan membebani mental pemain. Akan mengganggu konsentrasi dan mutu permainan para kampiun bola Persib yang terkenal tenang, matang dan lincah.

Nama-nama Witarsa, Rukma, Wowo, Omo, Henky Timisela, Pietje Timisela, Ade Dana, Parhim, Rukman, Emen, Fatah Hidayat, Komar, Yus Etek, Max Timisela, disusul Aen Karnaen, Obon, hingga Nandar, Encas Tonif, sudah menyatu dengan pikiran dan perasaan para bobotoh. Sebagaimana Ajat Sudrajat, Adeng Hudaya, Wawan Karnawan, Robby Darwis, bagi generasi bobotoh tahun 1980-an.

Mereka dibiarkan tenang bermain di lapangan hijau tanpa gangguan dan tuntutan bobotoh yang berlebihan. Suguhan permainan mereka yang cantik dan menarik, tetap menjadi tujuan utama. Bukan urusan kalah atau menang. Apalagi sampai merusak dan mengganggu ketertiban umum, mengundang kebencian dan permusuhan seperti sering terjadi akhir-akhir ini.

Apakah sikap bobotoh itu terlahir dari suatu kondisi bahwa Persib adalah Persib ? Dalam arti merupakan kumpulan para pemain sepakbola dari berbagai daerah — seluruh Indonesia — yang bermain di Bandung dan mengibarkan bendera klub Bandung ? Para pemain yang namanya disebut di atas tadi, banyak yang bukan orang Bandung asli. Ada yang dari Garut, Ciamis, bahkan Ambon. Tanpa menonjolkan corak fanatisme kedaerahan – bahkan lebih cenderung menunjukkan nasionalisme NKRI — Persib telah menorehkan tinta emas dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Ketika para pemain Persib menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia, pada waktu itulah PSII menapaki puncak-puncak kejayaannya. Kalau tak salah, pernah tujuh atau delapan pemain Persib berstatus pemain nasional, dan sering melanglangbuana bertanding ke luar negeri. Antara lain ke Eropa Timur. Untuk tingkat Asia, PSII sudah tak punya lawan sebanding lagi.

Bobotoh Persib sekarang dicap cenderung barbar. Holigan. Eleh meunang sarua bae amuk-amukan. Apakah hal ini timbul dari ketidakpuasan karena Persib seolah-olah tidak lagi menghargai bibit-bibit pemain lokal (daerah) dan lebih memanjakan pemain asing ? Pada bawah sadar para bobotoh menumpuk gumpalan kekesalan dan kepenasaranan yang sulit terucapkan, kecuali dengan melampiaskannya dalam bentuk hooliganisme.

Cinta kepada Persib, tapi ada sesuatu yang membuat cinta itu bercampur “dendam kesumat”. Ibarat seorang jejaka, cinta berat kepada seorang gadis, namun si buah hati “selingkuh”. Melepaskan tak mau karena berbagai pertimbangan, menerima juga rikuh karena berbagai petimbangan pula. Akhirnya napsu kapegung.

Saya ikut merasakan pula “derita hati” para bobotoh yang diibaratkan bernasib nahas seperti sang jejaka. Sehingga, saya terpaksa tak pernah lagi menyaksikan langsung Persib bertanding. Padahal sekarang, untuk beli karcis tak usah menguras sarang ayam tetangga. Pergi tak usah naik trum minyak kelapa. Entahlah nanti, setelah Persib kembali “asli”, seperti zaman Witarsa, Rukma, Wowo, Omo, Adjat, Adeng, sebagaimana dijanjikan Ketua Umum Persib baru-baru ini. Teriring salam buat para bobotoh Persib generasi terbaru. Sing sabar jeung tawekal. Hindari perbuatan yang dapat menodai citra Persib yang tetap kita cintai walaupun sekarang sedang dirundung “perselingkuhan”.***

H.Usep Romli HM, bobotoh Persib tahun 1960-an.

dari :PIKIRAN RAKYAT

Minggu, 19 Juli 2009

JEJAK LANGKAH VIKING DISTRIK KUNINGAN

Dengan berawal dari hanya 20 orang yang bisa di sebut sebagai pelopor, VIKING DISTRIK KUNINGAN berusaha menghidupkan iklim supporter sepakbola daerah.Optimis yang bukan tanpa alas an,mengingat animo masyarakat terhadap sepakbola yang cukup besar ,apalagi ketika mereka bicara tentang PERSIB ,tim kebanggan masyarakat jawa barat.

Buktinya,setelah secara legal terbentuk pada 26 Desember 2003,kini tercatat sekitar 1.500 anggota lebih yang bergabung untuk mendukung PERSIB bersama VIKING DISTRIK KUNINGAN yang tertulis secara administrasi.Bahkan jumlah dia atas tentunya bisa lebih banyak lagi jika di tambah dengan anggota yang belum tertulis dalam administrasi.

Bukan tanpa hambatan,bagi kami untuk mensosialisasikan diri dengan masyarakat.Apalagi pandangan negative terhadap kelompok supporter sepakbola yang berimbas pula terhadap gerak-gerik VIKING DISTRIK KUNINGAN karena dulu kami di mata masyaralat itu di pandang layak nya geng motor.

Yang terkesan brutal dan liar.

Kesan Liar dan tidak bertanggung jawab kami siasati dengan lebih sering berbaur dan membentuk tim sepakbola untuk bertanding antar sesame daerah di kuningan.”Kita memang liar,tetapi hanya sebatas ketika memberikan dukungan di lapangan.Teriak dan ber ekspresi,namun di luar lapangan kita hanya orang biasa yang mempunyai pekerjaan dan aktifitas yang sama seperti masyarakat pada umum nya.Bahkan lebih jauh llagi,untuk mengikis tindakan anarkis serta liar di kalangan anggota,kami senantiasa mengadakan kegiatan diksar.

“Kami hanya sekedar ingin membuktikan bahwa kami adalah suporteryang berani berbuat tetapi berani pula bertanggung jawab,”.

Keinginan terbesar VIKING DISTRIK KUNINGAN adalah turut berperan serta dalam perkembangan sepakbola daerah.”PERSIB milik masyarakat jawa barat,PESIK KUNINGAN kebanggaan daerah.Kami akan seratus persen untuk mendukung PERSIB ,tetapi kami juga akan selalu siap mendukung PESIK KUNINGAN dalam setiap laga nya.

Sabtu, 20 Juni 2009

SEJARAH PERSIB


Sebelum bernama Persib, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.

Atot ini pulalah yang tercatat sebagai Komisaris daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega didepan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan diluar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara Jakarta.

Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (Persebaya), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan.. BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.

BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub- klub yang bergabung kedalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.

Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang- orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah- olah Persib merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan- pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib dilakukan di pinggiran Bandung—ketika itu—seperti Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang didalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.

Persib memenangkan "perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepakbola satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung dibawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu strategi) kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.

Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lam dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga di seluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.

Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.

Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung.. Melainkan tersebar di berbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.

Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.

Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, decade 1950-an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah-pindah sekretariat. Walikota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.

Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.

Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995. Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.

Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.

Sebagai tim yang dikenal tangguh, Persib juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Heri Kiswanto, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nuralim, Yaris Riyadi hingga generasi Eka Ramdani merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib Comments

TAHUN 1973-1995 PERSIB LAKUKAN 41 PERTANDINGAN INTERNASIONAL

Tahukah anda bahwa dalam masa 1973 hingga 1995, Persib telah melakukan tidak kurang dari 41 pertandingan persahabatan internasional? Pertandingan-pertandingan tersebut tidak termasuk pertandingan Persib di King’s Cup 1978, Queen’s Cup 1978, Piala Marah Halim, Piala Jusuf, Piala Tugu Muda, dan Piala Sultan Hassanal Bolkiah 1986. Apalagi, data itu belum termasuk pertandingan pada masa sebelum 1973 dan setelah 1995. Melawan Selangor, Hyundai, dan Kelantan yang terjadi dalam 2-3 tahun terakhir ini misalnya. Inilah lawan-lawan Persib dari tim asing.

Sao Paulo (Brasil, 2 kali), Levsky Spartak (Bulgaria, 2 kali), Western Suburb Soccer Club (Australia), Tatung (Taiwan), Esbjerg (Denmark), Uni Soviet U-23, BRNO (Ceko), Yugoslavia U-23, Atletico Mineiro (Brasil), Legia Warsawa (Polandia), Italia U-21, B-1903 (Denmark), Go Ahead Eagles (Belanda), Selangor (Malaysia), Melayu (Singapura), Kelantan (Malaysia), SGSFL (Singapura), Muenchen University (Jerman), Korea Selatan, Vigilante (Singapura), Khairat Alma Ata/Lokomotif (Uni Soviet), Malacca (Malaysia), DNEPR/Deniver (Uni Soviet), Croatia Sydney (Australia), Tze Chiang (Taiwan), Freiburg (Jerman), Diraja (Malaysia), Torpedo Kutaisi (Uni Soviet), America (Brasil), FC IQ (Belanda), PSV Eindhoven (Belanda), Hallelujah (Korea Selatan), Juventus (Brasil), KNVB (Belanda), Kuala Lumpur (Malaysia), Yanmar (Jepang), Pakhtakor (Uzbekistan), FC Sarajevo (Yugoslavia), dan AC Milan (Italia).